Indonesia memiliki tempat penyimpanan limbah radioaktif terbesar di Asia Tenggara.
VIVanews - Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) bersama sumber energi alternatif lain telah menjadi energi masa depan ramah lingkungan.
Riset Badan Energi Internasional (IEA) pada 2008 menunjukkan, jika kapasitas nuklir digandakan empat kali lipat pada tahun 2050, nuklir mampu memangkas emisi karbon hingga 6 persen.
Hal ini semacam oase saat dunia menghadapi ancaman perubahan iklim akibat emisi karbon yang sudah terlalu banyak diproduksi manusia hasil pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara dan minyak.Jika kita mau mencegah dampak buruk perubahan iklim, maka perlu memangkas emisi karbon hingga 30 persen pada tahun 2020 dan 80 persen pada tahun 2050. Nah, PLTN ini mampu mereduksi emisi rumah kaca. Oleh karenanya penggunaan PLTN dianggap sesuai dengan harapan komunitas global yang menginginkan pengurangan karbon.
Bayangkan, manakala batu bara menghasilkan 850 ton emisi karbon per gigawatt per jam, minyak 750 gigawatt dan gas 500 gigawatt, maka energi nuklir hanya mengeluarkan emisi 8 gigawatt per jam.
PLTU berdaya 1.000 MW menghabiskan 3,7 juta ton batu bara per tahun dan melepaskan 6,7 juta ton CO2 per tahun. Pasokan energi nuklir menyumbang 16 persen total listrik dunia sekaligus memupus emisi 2,5 miliar ton gas karbon setiap tahun.
Sebanyak 441 PLTN yang kini beroperasi di seluruh dunia telah menghindari emisi hampir 3 miliar ton CO2 per tahun atau setara dengan gas buang berasal lebih dari 428 juta mobil.
Lalu bagaimana dengan limbahnya? Untuk satu unit PLTN berkapasitas 1.000 MW menghasilkan limbah rata-rata hanya 300 meter kubik per tahun yang dapat disimpan dalam penampungan sementara selama 20 tahun, sebelum nantinya dikirim ke penyimpanan limbah akhir.
Lokasi penyimpanan limbah radioaktif PLTN mensyaratkan letaknya harus jauh dari pemukiman penduduk jauh dari sumber air serta memiliki risiko gempa yang kecil. Suatu tempat penyimpanan limbah radioaktif dibangun beberapa puluh sampai ratus meter di bawah tanah, seperti bunker yang berlapis-lapis dengan beton.
Saat ini, Indonesia sudah memiliki tempat penyimpanan limbah radioaktif di Serpong, terbesar di Asia Tenggara dan aman. Tempat ini menerima limbah radioaktif selain dari tiga reaktor riset Batan di Serpong, Bandung dan Yogyakarta, juga limbah radioaktif yang berasal dari seluruh rumah sakit dan industri di tanah air.
Melalui proses evaporasi, limbah ini kemudian direduksi volumenya dari 100 liter menjadi 2 liter. Setelah itu sisa cairan yang tinggal sedikit dicampur semen sehingga terkungkung dan mudah dikendalikan.
Dibanding dengan limbah bahan berbahaya beracun (B3) seperti sianida dan lainnya, limbah radioaktif yang bersifat tak stabil ini bisa meluruh dengan sendirinya karena memancarkan energi berupa sinar atau partikel untuk mencapai kestabilan.
Indonesia sebenarnya termasuk negara yang mungkin untuk segera memanfaatkan tenaga nuklir. Selain telah berpuluh tahun berpengalaman mengelola dan mengoperasikan 3 unit reaktor, Indonesia juga telah memiliki sejumlah ahli nuklir yang diakui dunia. (WEBTORIAL)
• VIVAnews
0 komentar :
Posting Komentar