Visit
Kampung Tarung, Kemagisan Marapu di Tengah Kota
Kampung Tarung, Kemagisan Marapu di Tengah Kota
Diposting oleh
Indonesia On The Move
di
14.43.00
KOMPAS.com – Desa adat identik dengan kondisi yang
terpencil. Seakan jauh dari hiruk pikuk kota hingga mampu menahan
kekentalan tradisi. Namun, Kampung Tarung seakan menepis hal itu.
Kampung Tarung berada di Waikabubak, ibu kota kabupaten Sumba Barat,
Nusa Tenggara Timur.
Kampung Tarung menjadi desa tradisional di tengah kemajuan kota. Ia menjadi simbol kekuatan bertahan kepercayaan turun temurun dari gempuran modernisasi. Tanah para roh leluhur merupakan julukan yang tepat untuk Sumba Barat. Masyarakat asal kabupaten yang terletak di Nusa Tenggara Timur itu memiliki tradisi kepercayaan warisan nenek moyang yang disebut Marapu.
Namun, seiring waktu, masyarakat setempat mulai berpindah keyakinan ke agama Kristen atau Islam dan meninggalkan kepercayaan Marapu. Walaupun masih banyak tradisi Marapu yang masih dijalankan dan menjadikan Sumba Barat daya tarik wisata budaya.
Hanya saja, sebagian besar masyarakat yang telah memeluk Kristen atau Islam, terutama kalangan muda, mulai berlaku sebagai penonton suatu upacara adat, bukan sebagai pelaku. Seperti yang pernah diungkapkan Kabid Promosi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Anisa Umar,
"Sumba Barat sebenarnya seperti Bali, punya kepercayaan dan adat istiadat yang kuat. Bedanya di Bali, Hindu memang agama. Tapi di sini, Marapu bukan agama," katanya.
Selain Kampung Tarung, Sumba Barat memiliki banyak kampung adat lainnya. Sebagian berada di ibu kota. Masih banyak pula yang berada di atas bukit. Tradisi Marapu masih kental terasa di saat pernikahan dan upacara kematian. Pun, beberapa kesenian masih menampilkan kepercayaan Marapu, begitu pula hasil kerajinan. Salah satunya adalah kain tenunan.
Di Kampung Tarung, pengunjung dapat melihat langsung proses pembuatan kain tenun. Nona Lawe dari Kampung Tarung salah satu penenun yang belajar menenun sejak kecil. Ia menuturkan dulu hanya sedikit orang yang bisa menenun.
Sebab, para generasi muda mulai berkurang minat untuk belajar menenun. Kain tenun Sumba yang asli motifnya hanya hitam atau putih. Benang yang dipakai pun dari kapas yang harus melewati proses lama sebelum menjadi benang.
“Kapas harus dipintal dulu, jadi lama sekali. Setelah dipintal harus dimasak lagi dengan tepung jagung. Karena sibuk mengerjakan hal lain, sehelai kain baru selesai satu tahun,” jelasnya.
Sepuluh tahun belakangan, Sumba Barat mulai ramai kedatangan turis asing. Kampung Tarung pun “kecipratan” rezeki turis. Para turis ini kerap kali berminat membeli kain tenun. Menurut Lawe, empat tahun belakangan generasi muda mulai banyak yang tertarik belajar menenun.
“Sekarang sudah memakai benang dengan warna-warna cerah. Motif-motif juga banyak. Anak-anak dari umur 9 tahun sekarang sudah bisa menenun,” katanya.
Motif-motif yang biasa ditampilkan di tenunan bisa berupa batu menhir, rumah adat, dan perhiasan untuk pernikahan. Kain tenunan ini biasa dibuat menjadi selendang, kain lembaran, taplak, maupun sarung.
Proses pembuatan tergantung dari besar kain yang ditenun. Seperti selendang perlu waktu tiga hari penenunan. Sedangkan kain, memakan waktu sampai dua minggu. Harganya pun relatif terjangkau, mulai dari Rp 25.000 sampai ratusan ribu rupiah, sesuai besaran kain.
Namun, kain-kain dengan harga di bawah Rp 200.000 ini menggunakan benang sintetis. Beberapa penenun memang ada pula yang menjual kain tenun dengan bahan kapas dan pewarna bahan alami. Hanya saja harganya tentu lebih mahal.
Pengunjung juga dapat memesan kain bertuliskan nama yang ditenunkan pada kain. Kain tenun seukuran selendang dengan nama diberi harga Rp 60.000. Perlu waktu tiga hari untuk menyelesaikannya. Jika tertarik, Anda bisa memesannya di salah satu penenun di Kampung Tarung dan minta diantarkan ke hotel tempat Anda menginap.
Lawe mengungkapkan kunjungan wisatawan ke Kampung Tarung masih lebih banyak turis asing daripada turis domestik. Turis asing biasanya berasal dari Perancis, Amerika, dan Belgia. Setiap ada turis, para penjual kerajinan pun bermunculan dan mengerubungi wisatawan.
Kerap kali wisatawan merasa tidak nyaman karena dikerubungi para pedagang ini. Mereka tak hanya berjualan kain tenun, namun juga patung kayu atau batu, gelang dan aksesoris lainnya. Tak ada salahnya, saat mampir ke Kampung Tarung, Anda berbelanja hasil kerajinan ini.
Namun, jika memang Anda tidak tertarik, Anda bisa menolaknya secara halus. Mereka tidak akan masalah dan tetap bersikap ramah pada wisatawan.
“Kalau tidak tunjukan barang, rasanya seperti bohong. Susah payah menenun tetapi tidak ditunjukan. Kalau turis tidak mau beli, yah tidak apa-apa. Yang penting sudah kita tunjukan tenunan kita,” jelasnya.
Batu Menhir
Masuk ke dalam Kampung Tarung, kaki akan melangkah di atas jalanan setapak yang tertutup batu. Sementara di beberapa sudut akan tampak batu-batu menhir. Menhir ini bertindak sebagai kuburan batu.
Sementara itu, kampung dikelilingi pagar batu dan pintu masuk dari batu. Batu-batu besar telah diperciki darah hewan persembahan sebagai pelambang roh penjaga. Di bagian tengah kampung, terdapat altar suci dari batu.
Rumah-rumah pun berdiri mengelilingi altar ini. Rumah khas Sumba itu pun sarat akan filosofi. Ia mencerminkan tiga bagian yaitu menara rumah, bangunan utama, dan bagian bawah rumah. Menara rumah menjadi simbol bagi para roh.
Sedangkan di bagian bangunan utama, menjadi simbol tempat pemujaan dan tempat hunian. Lalu bagian bawah menjadi tempat hewah peliharaan dan roh jahat. Sementara di bagian depan, tanduk-tanduk kerbau berjejer menghiasi dinding.
Tanduk kerbau menjadi simbol pelaksanaan upacara penguburan. Pun kerbau-kerbau yang telah dikurbankan untuk upacara adat lainnya. Perhatikan pula atap rumah adat. Semuanya memakai alang-alang. Alang-alang harus diganti setiap lima tahun. Bambu sebagai kerangka rumah itu sendiri mampu bertahan sampai 30 tahun.
Jika berkesempatan mampir ke Kampung Tarung, mintalah izin kepada pemilik rumah untuk melihat-lihat isi di dalam rumah. Di bagian dalam, tepat di tengah rumah merupakan dapur. Alat memasak masih mengunakan kayu bakar.
Ini menjadi salah satu kearifan lokal di Kampung Tarung. Asap dari kayu bakar malah membuat alang-alang menjadi kering dan tahan lama. Tak ada kasur untuk tempat tidur. Hanya beralaskan bambu. Lalu teras di depan rumah untuk beraktivitas.
“Di Kampung Tarung ada 38 rumah. Dalam satu rumah itu ada satu sampai tiga kepala keluarga,” kata Lado Regi Tera, Rato (pemuka adat) dari Kampung Tarung.
Rato Lado sendiri merupakan sosok yang unik. DI usianya yang baru kepala empat, ia sudah menjadi seorang Rato. Bisa dibilang, ia menjadi Rato termuda di Sumba Barat saat ini. Walau di usia muda, ia tetap dipandang oleh masyarakat setempat sebagai pemuka adat. Di pundak seorang Rato lah, tradisi Marapu dapat bertahan dari arus modernisasi.
Kampung Tarung menjadi desa tradisional di tengah kemajuan kota. Ia menjadi simbol kekuatan bertahan kepercayaan turun temurun dari gempuran modernisasi. Tanah para roh leluhur merupakan julukan yang tepat untuk Sumba Barat. Masyarakat asal kabupaten yang terletak di Nusa Tenggara Timur itu memiliki tradisi kepercayaan warisan nenek moyang yang disebut Marapu.
Namun, seiring waktu, masyarakat setempat mulai berpindah keyakinan ke agama Kristen atau Islam dan meninggalkan kepercayaan Marapu. Walaupun masih banyak tradisi Marapu yang masih dijalankan dan menjadikan Sumba Barat daya tarik wisata budaya.
Hanya saja, sebagian besar masyarakat yang telah memeluk Kristen atau Islam, terutama kalangan muda, mulai berlaku sebagai penonton suatu upacara adat, bukan sebagai pelaku. Seperti yang pernah diungkapkan Kabid Promosi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Anisa Umar,
"Sumba Barat sebenarnya seperti Bali, punya kepercayaan dan adat istiadat yang kuat. Bedanya di Bali, Hindu memang agama. Tapi di sini, Marapu bukan agama," katanya.
Selain Kampung Tarung, Sumba Barat memiliki banyak kampung adat lainnya. Sebagian berada di ibu kota. Masih banyak pula yang berada di atas bukit. Tradisi Marapu masih kental terasa di saat pernikahan dan upacara kematian. Pun, beberapa kesenian masih menampilkan kepercayaan Marapu, begitu pula hasil kerajinan. Salah satunya adalah kain tenunan.
Di Kampung Tarung, pengunjung dapat melihat langsung proses pembuatan kain tenun. Nona Lawe dari Kampung Tarung salah satu penenun yang belajar menenun sejak kecil. Ia menuturkan dulu hanya sedikit orang yang bisa menenun.
Sebab, para generasi muda mulai berkurang minat untuk belajar menenun. Kain tenun Sumba yang asli motifnya hanya hitam atau putih. Benang yang dipakai pun dari kapas yang harus melewati proses lama sebelum menjadi benang.
“Kapas harus dipintal dulu, jadi lama sekali. Setelah dipintal harus dimasak lagi dengan tepung jagung. Karena sibuk mengerjakan hal lain, sehelai kain baru selesai satu tahun,” jelasnya.
Sepuluh tahun belakangan, Sumba Barat mulai ramai kedatangan turis asing. Kampung Tarung pun “kecipratan” rezeki turis. Para turis ini kerap kali berminat membeli kain tenun. Menurut Lawe, empat tahun belakangan generasi muda mulai banyak yang tertarik belajar menenun.
“Sekarang sudah memakai benang dengan warna-warna cerah. Motif-motif juga banyak. Anak-anak dari umur 9 tahun sekarang sudah bisa menenun,” katanya.
Motif-motif yang biasa ditampilkan di tenunan bisa berupa batu menhir, rumah adat, dan perhiasan untuk pernikahan. Kain tenunan ini biasa dibuat menjadi selendang, kain lembaran, taplak, maupun sarung.
Proses pembuatan tergantung dari besar kain yang ditenun. Seperti selendang perlu waktu tiga hari penenunan. Sedangkan kain, memakan waktu sampai dua minggu. Harganya pun relatif terjangkau, mulai dari Rp 25.000 sampai ratusan ribu rupiah, sesuai besaran kain.
Namun, kain-kain dengan harga di bawah Rp 200.000 ini menggunakan benang sintetis. Beberapa penenun memang ada pula yang menjual kain tenun dengan bahan kapas dan pewarna bahan alami. Hanya saja harganya tentu lebih mahal.
Pengunjung juga dapat memesan kain bertuliskan nama yang ditenunkan pada kain. Kain tenun seukuran selendang dengan nama diberi harga Rp 60.000. Perlu waktu tiga hari untuk menyelesaikannya. Jika tertarik, Anda bisa memesannya di salah satu penenun di Kampung Tarung dan minta diantarkan ke hotel tempat Anda menginap.
Lawe mengungkapkan kunjungan wisatawan ke Kampung Tarung masih lebih banyak turis asing daripada turis domestik. Turis asing biasanya berasal dari Perancis, Amerika, dan Belgia. Setiap ada turis, para penjual kerajinan pun bermunculan dan mengerubungi wisatawan.
Kerap kali wisatawan merasa tidak nyaman karena dikerubungi para pedagang ini. Mereka tak hanya berjualan kain tenun, namun juga patung kayu atau batu, gelang dan aksesoris lainnya. Tak ada salahnya, saat mampir ke Kampung Tarung, Anda berbelanja hasil kerajinan ini.
Namun, jika memang Anda tidak tertarik, Anda bisa menolaknya secara halus. Mereka tidak akan masalah dan tetap bersikap ramah pada wisatawan.
“Kalau tidak tunjukan barang, rasanya seperti bohong. Susah payah menenun tetapi tidak ditunjukan. Kalau turis tidak mau beli, yah tidak apa-apa. Yang penting sudah kita tunjukan tenunan kita,” jelasnya.
Batu Menhir
Masuk ke dalam Kampung Tarung, kaki akan melangkah di atas jalanan setapak yang tertutup batu. Sementara di beberapa sudut akan tampak batu-batu menhir. Menhir ini bertindak sebagai kuburan batu.
Sementara itu, kampung dikelilingi pagar batu dan pintu masuk dari batu. Batu-batu besar telah diperciki darah hewan persembahan sebagai pelambang roh penjaga. Di bagian tengah kampung, terdapat altar suci dari batu.
Rumah-rumah pun berdiri mengelilingi altar ini. Rumah khas Sumba itu pun sarat akan filosofi. Ia mencerminkan tiga bagian yaitu menara rumah, bangunan utama, dan bagian bawah rumah. Menara rumah menjadi simbol bagi para roh.
Sedangkan di bagian bangunan utama, menjadi simbol tempat pemujaan dan tempat hunian. Lalu bagian bawah menjadi tempat hewah peliharaan dan roh jahat. Sementara di bagian depan, tanduk-tanduk kerbau berjejer menghiasi dinding.
Tanduk kerbau menjadi simbol pelaksanaan upacara penguburan. Pun kerbau-kerbau yang telah dikurbankan untuk upacara adat lainnya. Perhatikan pula atap rumah adat. Semuanya memakai alang-alang. Alang-alang harus diganti setiap lima tahun. Bambu sebagai kerangka rumah itu sendiri mampu bertahan sampai 30 tahun.
Jika berkesempatan mampir ke Kampung Tarung, mintalah izin kepada pemilik rumah untuk melihat-lihat isi di dalam rumah. Di bagian dalam, tepat di tengah rumah merupakan dapur. Alat memasak masih mengunakan kayu bakar.
Ini menjadi salah satu kearifan lokal di Kampung Tarung. Asap dari kayu bakar malah membuat alang-alang menjadi kering dan tahan lama. Tak ada kasur untuk tempat tidur. Hanya beralaskan bambu. Lalu teras di depan rumah untuk beraktivitas.
“Di Kampung Tarung ada 38 rumah. Dalam satu rumah itu ada satu sampai tiga kepala keluarga,” kata Lado Regi Tera, Rato (pemuka adat) dari Kampung Tarung.
Rato Lado sendiri merupakan sosok yang unik. DI usianya yang baru kepala empat, ia sudah menjadi seorang Rato. Bisa dibilang, ia menjadi Rato termuda di Sumba Barat saat ini. Walau di usia muda, ia tetap dipandang oleh masyarakat setempat sebagai pemuka adat. Di pundak seorang Rato lah, tradisi Marapu dapat bertahan dari arus modernisasi.
0 komentar :
Posting Komentar