Itulah land mark kedua Kota Banda Aceh setelah Masjid Raya Baiturrahman. Sebuah museum yang dibangun untuk mengenang tsunami yang meluluhlantakkan Aceh, 26 Desember 2004 lalu. Letaknya berhadapan dengan Lapangan Blang Padang.
Sabtu 26 Mei 2012, puluhan pengunjung memadati tempat itu. “Untuk masuk ke dalam, dilarang membawa tas, titip di sini saja. Kamera boleh,” kata seorang petugas jaga museum di pintu masuk.
Museum ramai dikunjungi saban hari, anak sekolah, wisatawan lokal, nasional, bahkan mancanegara. Anak-anak sekolah kadang dibawa oleh gurunya ke sana untuk sekadar belajar dan mengingat tsunami.
Yuni, salah satu murid SMP di Banda Aceh, berkunjung ke tempat itu bersama kawan-kawannya. Menurut dia, museum tsunami akan menjadi aset beharga bagi Aceh ke depan, yaitu sebagai pengingat bahwa tsunami pernah melanda Aceh. Generasi selanjutnya dapat mempelajari sejarah di sana. “Isi museum mungkin yang belum lengkap. Kalau sudah lengkap, banyak buku, foto dan barang-barang lainnya yang berhubungan dengan tsunami, akan sangat bagus,” ujarnya.
Bangunannya unik dengan konsep rumah Aceh. Diresmikan pertengahan 2009 lalu, museum itu telah direncanakan lama untuk menjadi warisan bagi dunia dalam mengingat tsunami Aceh.
Gedung itu dibangun oleh prakarsa beberapa lembaga. Di antaranya adalah Badan Rekontruksi dan Aceh-Nias, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Pemerintah Daerah Aceh, Pemerintah Kota Banda Aceh, dan Ikatan Arsitek Indonesia.
Model bangunnya sesuai dengan rancangan pemenang dalam sayembara, M. Ridwan Kamil, dosen arsitektur Institute Teknologi Bandung (ITB) dengan ide bangunan; Rumoh Aceh as Escape Hill.
Desainnya, lantai pertama museum merupakan ruang terbuka, sebagaimana rumah tradisional orang Aceh. Selain dapat dimanfaatkan sebagai ruang publik, jika terjadi banjir atau tsunami lagi, maka air yang datang tidak akan terhalangi lajunya. Tak hanya itu, unsur tradisional lainnya berupa seni Tari Saman diterjemahkan dalam kulit luar bangunan eksterior. Sedangkan denah bangunan merupakan analogi dari epicenter sebuah gelombang laut tsunami.
Tampilan eksterior museum mengekspresikan keberagaman budaya Aceh melalui pemakaia ornamen dekoratif unsur transparansi elemen kulit luar bangunan, seperti anyaman bambu. Sedangkan tampilan interiornya mengetengahkan sebuah tunnel of sorrow yang menggiring pengunjung ke suatu perenungan atas musibah dahsyat yang diderita warga Aceh sekaligus kepasrahan dan pengakuan atas kekuatan dan kekuasaan Allah dalam mengatasi sesuatu.
Masuk ke dalam, pengunjung disuguhkan dengan sebuah lorong sempit yang agak remang. Di sini kita bisa melihat air terjun di sisi kiri dan kanannya yang mengeluarkan suara gemuruh air. Lorong ini untuk mengingatkan para pengunjung pada suasana tsunami.
Selanjutnya adalah sebuah ruang yang disebut The Light of God. Ruang yang berbentuk sumur silinder ini menyorotkan cahaya ke atas sebuah lubang dengan tulisan arab, Allah. Dinding sumur silinder juga dipenuhi nama-nama para korban tsunami Aceh, 26 Desember 2004. Dari luar jauh, akan terlihat seperti cerobong.
Keluar dari sana, ada memorial hall di ruang bawah tanah. Ruangan ini gelap dengan dinding kaca. Di sana pengunjung dapat melihat foto-foto kondisi Aceh yang porak poranda setelah tsunami. Foto-foto tersebut ditampilkan memakai pada 26 layar display elektronik selebar 17 inci. “Di sini dilarang memotret dengan kilatan cahaya,” kata Yudha, pemandu.
Museum yang dibangun dengan dana sekitar Rp 70 miliar, juga dilengkapi dengan escape hill, sebuah taman berbentuk bukit yang dapat dijadikan sebagai salah satu antisipasi lokasi penyelamatan terhadap datangnya banjir atau tsunami. Juga ruang-ruang pameran foto dan ruangan untuk perhelatan seni budaya.
Di ruang pameran, foto yang menceritakan kisah tsunami terpampang. Juga ada bekas-bekas sisa tsunami seperti sebuah sepeda motor dan sketsa lainnya yang menceritakan lokasi kejadian tsunami.
“Pengunjung rata-rata seribu sampai dua ribuan per bulan, paling ramai hari Sabtu dan Minggu,” kata Yudha.
ADI WARSIDI
0 komentar :
Posting Komentar