Trend
Saatnya Developer Game Indonesia Mencuri Start
Saatnya Developer Game Indonesia Mencuri Start
Diposting oleh
Indonesia On The Move
di
14.21.00
SERPONG, KOMPAS.com - Industri game di Indonesia
sedang bertumbuh dan diprediksi akan menjadi besar. Ini dianggap sebagai
saat yang tepat bagi developer tanah air untuk mencuri start.
Hironao Kunimitsu, CEO Gumi, mengatakan hal itu dalam Game Developer Gathering (GDG) 2012 di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Sabtu (26/5/2012).
"Pasar Asia Tenggara kira-kira 4 tahun di belakang Jepang. Jika Anda (developer lokal-red.) mulai dari sekarang, ada peluang menjadi besar di masa depan," sarannya.
Gumi adalah mobile game publisher asal Jepang yang didirikan oleh Kunimitsu. Selain kantor pusat di Jepang, Gumi juga memiliki kantor di Singapura.
Meski demikian, Kunimitsu mengatakan mereka belum akan terlalu fokus untuk pasar Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Indonesia, ujarnya, masih butuh dua tahun lagi untuk jadi pasar yang menarik baginya.
Justru ia tampak mendorong agar pengembang game di Indonesia menghidupkan pasar yang ada di tanah air. Tak lain agar, saat pasar ini sudah matang developer Indonesia sudah siap.
Menimba Ilmu
Dalam konferensi pers di sela-sela GDG 2012 Kris Antoni Hadiputra, Director Toge Productions, mengatakan memang developer Indonesia perlu bersiap menghadapi "serbuan" asing.
Kris mengakui, Indonesia merupakan pasar game dengan potensi yang besar. Apalagi mengingat besarnya populasi serta tingginya penetrasi perangkat mobile.
Namun, lanjutnya, ia tidak berharap pihak asing datang hanya dengan "segepok duit" lalu menguasai pasar yang ada. Ia berharap developer di Indonesia bisa mendapatkan ilmu dari pihak luar.
Toge Productions bertindak sebagai penyelenggara GDG 2012 dengan menggandeng UMN sebagai tuan rumah lokasi. Event ini menghadirkan beberapa pembicara dari perusahaan game luar negeri.
Selain Kunimitsu dari Gumi, terdapat juga Toshihiko Suyama dari DeNA, Eric Chen dari Mochi Media dan Noritaka Kobayashi dari Gree.
Menurut Kris, para "tamu" tersebut mengatakan pasar Indonesia masih sulit untuk digarap. Namun, mereka mengakui ada potensi besar dari developernya.
"Game Indonesia, punya potensi untuk dijual ke pasar global!" tuturnya.
Menuju Pasar Dunia
Game adalah salah satu bagian dari ekonomi kreatif yang dinilai sebagai potensi besar bagi Indonesia untuk bisa berkiprah di pasar global.
"Industri kreatif merupakan industri yang berbasis pada ide, bukan pada sumber yang dapat habis. GDG 2012 merupakan perwujudan komitmen UMN untuk turut serta mengembangkan industri kreatif di Indonesia," kata Andrey Andoko, Purek II UMN.
Game, ujar Andrey, menggabungkan banyak hal yang merupakan "pilar" dari industri kreatif. Mulai dari media, seni budaya hingga teknologi.
UMN pun berniat mendirikan sebuah jurusan atau program studi yang akan berkonsentrasi di bidang ini. Namun, ia mengatakan, namanya tak akan "jurusan game".
Sebelum hal itu terwujud, menurut Andrey, saat ini sudah ada banyak jurusan di UMN yang mendukung pengembangan game.
Andrey menuturkan, mulai dari jurusan Desain Komunikasi Visual untuk sisi visual artwork-nya, jurusan komunikasi untuk konten, informatika untuk sisi teknis dan manajemen untuk sisi bisnisnya.
UMN pun telah memiliki Game Development Club yang anggotanya menggabungkan mahasiswa dari berbagai jurusan yang berbeda yang memiliki minat sama dalam pengembangan game.
Kedepankan Mutu Produk
Saat ini, pasar game di Indonesia sangat beragam dan masing-masing memiliki pendekatan yang berbeda-beda. Menurut Kris, pasar yang sedang tumbuh pesat adalah social game dan mobile game.
Kris menekankan, platform apapun yang digunakan oleh developer game di Indonesia, yang harus jadi perhatian utama adalah mutu game yang dihasilkan.
CEO Touchten, Anton Soeharyo, memaparkan beberapa hal yang patut jadi perhatian developer saat menghadirkan produknya di pasaran. Salah satunya adalah soal penamaan game.
Anton menyarankan, penamaan game mempertimbangkan kemungkinan pencarian yang dilakukan orang. Ia mencontohkan beberapa game Touchten seperti Sushi Chain, Hachiko atau yang terbaru Infinite Sky.
Semua game itu menurutnya sengaja memilih nama yang diperkirakan akan dicari orang saat mengunjungi toko aplikasi seperti Apple App Store. Demikian pula tampilan grafisnya dibuat semenarik mungkin.
Di sisi lain, ia mengatakan bukan berarti game nya tidak mengandung unsur budaya lokal. Di Sushi Chain, misalnya, ia mengatakan ada menu Nasi Goreng.
"Di Infinite Sky, bahkan salah satu pilot yang paling jago bernama Gatotkaca," tutur Anton.
"Live The Fun Way"
Sepanjang GDG 2011, ada satu pesan yang cukup menonjol: hal paling penting dalam membuat game adalah menghadirkan game yang menyenangkan.
Hal ini diungkapkan misalnya oleh Yusup S.M,S.T.,M.Inf.Tech, pengajar desain game di UMN. Ia menuturkan siswa di kelasnya biasanya akan melakukan playtesting untuk melihat seberapa menyenangkan game yang mereka buat.
Yusup juga mendorong siswanya untuk membuat prototipe game dalam bentuk non-digital terlebih dahulu. Beberapa boardgame karya mahasiswa UMN pun sempat dipamerkannya.
Selain menyenangkan bagi yang memainkannya, game juga harus menyenangkan bagi yang membuat. Seperti dipaparkan Arief Widhiyasa, CEO Agate Studio, agar mampu bertahan developer game harus merasakan kebahagiaan. Yaitu ketika ia mengerjakan sesuatu yang memang ingin dilakukannya.
Agate Studio, yang tumbuh dari 15 orang menjadi 76 orang dalam waktu kurang lebih 3 tahun, pun memegang prinsip itu dalam berkarya. Ini sesuai dengan "mantera" yang selalu diucapkan tim Agate: Live the Fun Way!
Hironao Kunimitsu, CEO Gumi, mengatakan hal itu dalam Game Developer Gathering (GDG) 2012 di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Sabtu (26/5/2012).
"Pasar Asia Tenggara kira-kira 4 tahun di belakang Jepang. Jika Anda (developer lokal-red.) mulai dari sekarang, ada peluang menjadi besar di masa depan," sarannya.
Gumi adalah mobile game publisher asal Jepang yang didirikan oleh Kunimitsu. Selain kantor pusat di Jepang, Gumi juga memiliki kantor di Singapura.
Meski demikian, Kunimitsu mengatakan mereka belum akan terlalu fokus untuk pasar Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Indonesia, ujarnya, masih butuh dua tahun lagi untuk jadi pasar yang menarik baginya.
Justru ia tampak mendorong agar pengembang game di Indonesia menghidupkan pasar yang ada di tanah air. Tak lain agar, saat pasar ini sudah matang developer Indonesia sudah siap.
Menimba Ilmu
Dalam konferensi pers di sela-sela GDG 2012 Kris Antoni Hadiputra, Director Toge Productions, mengatakan memang developer Indonesia perlu bersiap menghadapi "serbuan" asing.
Kris mengakui, Indonesia merupakan pasar game dengan potensi yang besar. Apalagi mengingat besarnya populasi serta tingginya penetrasi perangkat mobile.
Namun, lanjutnya, ia tidak berharap pihak asing datang hanya dengan "segepok duit" lalu menguasai pasar yang ada. Ia berharap developer di Indonesia bisa mendapatkan ilmu dari pihak luar.
Toge Productions bertindak sebagai penyelenggara GDG 2012 dengan menggandeng UMN sebagai tuan rumah lokasi. Event ini menghadirkan beberapa pembicara dari perusahaan game luar negeri.
Selain Kunimitsu dari Gumi, terdapat juga Toshihiko Suyama dari DeNA, Eric Chen dari Mochi Media dan Noritaka Kobayashi dari Gree.
Menurut Kris, para "tamu" tersebut mengatakan pasar Indonesia masih sulit untuk digarap. Namun, mereka mengakui ada potensi besar dari developernya.
"Game Indonesia, punya potensi untuk dijual ke pasar global!" tuturnya.
Menuju Pasar Dunia
Game adalah salah satu bagian dari ekonomi kreatif yang dinilai sebagai potensi besar bagi Indonesia untuk bisa berkiprah di pasar global.
"Industri kreatif merupakan industri yang berbasis pada ide, bukan pada sumber yang dapat habis. GDG 2012 merupakan perwujudan komitmen UMN untuk turut serta mengembangkan industri kreatif di Indonesia," kata Andrey Andoko, Purek II UMN.
Game, ujar Andrey, menggabungkan banyak hal yang merupakan "pilar" dari industri kreatif. Mulai dari media, seni budaya hingga teknologi.
UMN pun berniat mendirikan sebuah jurusan atau program studi yang akan berkonsentrasi di bidang ini. Namun, ia mengatakan, namanya tak akan "jurusan game".
Sebelum hal itu terwujud, menurut Andrey, saat ini sudah ada banyak jurusan di UMN yang mendukung pengembangan game.
Andrey menuturkan, mulai dari jurusan Desain Komunikasi Visual untuk sisi visual artwork-nya, jurusan komunikasi untuk konten, informatika untuk sisi teknis dan manajemen untuk sisi bisnisnya.
UMN pun telah memiliki Game Development Club yang anggotanya menggabungkan mahasiswa dari berbagai jurusan yang berbeda yang memiliki minat sama dalam pengembangan game.
Kedepankan Mutu Produk
Saat ini, pasar game di Indonesia sangat beragam dan masing-masing memiliki pendekatan yang berbeda-beda. Menurut Kris, pasar yang sedang tumbuh pesat adalah social game dan mobile game.
Kris menekankan, platform apapun yang digunakan oleh developer game di Indonesia, yang harus jadi perhatian utama adalah mutu game yang dihasilkan.
CEO Touchten, Anton Soeharyo, memaparkan beberapa hal yang patut jadi perhatian developer saat menghadirkan produknya di pasaran. Salah satunya adalah soal penamaan game.
Anton menyarankan, penamaan game mempertimbangkan kemungkinan pencarian yang dilakukan orang. Ia mencontohkan beberapa game Touchten seperti Sushi Chain, Hachiko atau yang terbaru Infinite Sky.
Semua game itu menurutnya sengaja memilih nama yang diperkirakan akan dicari orang saat mengunjungi toko aplikasi seperti Apple App Store. Demikian pula tampilan grafisnya dibuat semenarik mungkin.
Di sisi lain, ia mengatakan bukan berarti game nya tidak mengandung unsur budaya lokal. Di Sushi Chain, misalnya, ia mengatakan ada menu Nasi Goreng.
"Di Infinite Sky, bahkan salah satu pilot yang paling jago bernama Gatotkaca," tutur Anton.
"Live The Fun Way"
Sepanjang GDG 2011, ada satu pesan yang cukup menonjol: hal paling penting dalam membuat game adalah menghadirkan game yang menyenangkan.
Hal ini diungkapkan misalnya oleh Yusup S.M,S.T.,M.Inf.Tech, pengajar desain game di UMN. Ia menuturkan siswa di kelasnya biasanya akan melakukan playtesting untuk melihat seberapa menyenangkan game yang mereka buat.
Yusup juga mendorong siswanya untuk membuat prototipe game dalam bentuk non-digital terlebih dahulu. Beberapa boardgame karya mahasiswa UMN pun sempat dipamerkannya.
Selain menyenangkan bagi yang memainkannya, game juga harus menyenangkan bagi yang membuat. Seperti dipaparkan Arief Widhiyasa, CEO Agate Studio, agar mampu bertahan developer game harus merasakan kebahagiaan. Yaitu ketika ia mengerjakan sesuatu yang memang ingin dilakukannya.
Agate Studio, yang tumbuh dari 15 orang menjadi 76 orang dalam waktu kurang lebih 3 tahun, pun memegang prinsip itu dalam berkarya. Ini sesuai dengan "mantera" yang selalu diucapkan tim Agate: Live the Fun Way!
0 komentar :
Posting Komentar